Search

Hidup Sudah Cukup Manis, Perlukah Ditambahi Boba? - kompas.id

Kompas/Yuniadhi Agung

Pengunjung sebuah mal di Jakarta berbincang sambil menikmati minuman boba, Selasa (7/1/2020).

Akbar Ahya Putra (26) memesan minuman boba di salah satu gerai di Jakarta Barat. Tak sampai tiga menit, minuman dengan bola-bola hitam manis yang terbuat dari tepung tapioka itu tandas.

”Ini yang ketiga kalinya aku beli yang ada bobanya. Biasanya aku membeli minuman manis lain, seperti thai tea dan minuman kopi yang ditambahi susu atau gula aren,” katanya, Kamis (5/3/2020), saat ditemui di gerai minuman boba berwarna kuning itu.

Baca juga : Di Balik Manis Si Boba dan Gurih Mozzarella

Pekerja di salah satu perusahaan distributor makanan ini mengonsumsi minuman manis seharga Rp 12.000-Rp 20.000 per gelas itu sebanyak dua kali seminggu. Intensitasnya bisa lebih banyak jika ada jadwal rapat bersama klien dalam minggu itu. Minuman yang disajikan dengan es batu itu menjadi menu favorit. ”Suka saja sama minuman manis. Paling tidak, yang ada susunya-lah,” lanjutnya.

KOMPAS/INSAN ALFAJRI

Warga membeli minuman boba di salah satu gerai di Jakarta Barat, Kamis (5/3/2020).

Sadar karena mengonsumsi banyak minuman bergula, Putra berolahraga setiap akhir pekan. Kalau tidak bermain futsal, ia bermain panahan.

Di gerai minuman yang berada di depan Universitas Binus, Jakarta Barat, Ajeng Rahma Putri (18) memesan oreo cheese. Minuman manis ini menjadi pelepas dahaga seusai pulang sekolah. ”Aku kalau boba tidak terlalu suka karena jerawatku jadi tambah banyak,” kata perempuan berkacamata ini.

Mamanya juga mengingatkan agar ia tak terlalu sering mengonsumsi minuman ini. Akan tetapi, kesegaran minuman ini tetap menggoda. Dia pun membatasi untuk mengonsumsi minuman ini sekali seminggu. ”Aku juga rutin mengonsumsi sayur dan buah-buahan sebagai penyeimbang,” katanya.

KOMPAS/INSAN ALFAJRI

Karyawan di salah satu gerai minuman kekinian membuat pesanan konsumen, Kamis (5/3/2020), di depan Universitas Binus, Jakarta Barat.

Ikhwani Sophia (26) pun pernah mengonsumsi minuman dengan topping boba. Ia mengonsumsi minuman itu tiga kali seminggu. Minumannya dibeli secara daring. ”Dulu ngikutin tren, kan. Terus, rasanya juga enak. Tetapi minuman itu juga banyak promonya dulu waktu dibeli secara daring,” ujarnya.

Namun, ia merasa berat badannya bertambah. Oleh sebab itu, sejak dua bulan terakhir, ia tidak lagi mengonsumsi minuman manis itu lagi. ”Aku takut gendut. Lagi pula, promonya juga sudah mulai kurang,” ucapnya.

Diminati warga

Jajak pendapat Litbang Kompas pada 25-26 Januari lalu menyebutkan, sebanyak 58 persen dari 525 responden menggemari minuman yang sedang tren, seperti bubble tea, thai tea, dan es kopi.

Alasan paling dominan warga mengonsumsi minuman ini karena menyukai rasanya (61,9 persen). Ada pula yang penasaran dengan rasa minuman itu (23,5 persen) dan mengikuti tren (9,2 persen).

Sudah Berlangganan? Silakan Masuk

Beli Satu, Cukup untuk Semua!

Telah hadir, Kompas Digital Premium (KDP) EKSTRA! Dengan berlangganan, Anda dapat menikmati konten Kompas.id bersama-sama (hingga 10 e-mail)

Baca juga : Legit dan Kenyalnya Bola-bola Boba

Catatan Kompas, kandungan gula yang terdapat pada minuman kekinian ini cukup tinggi dan dapat membahayakan kesehatan. Pada minuman bubble tea, misalnya, selain susu, sering ditambahkan pula sirup, perisa teh, ataupun agar-agar sehingga kadar gula, lemak, dan kalori yang terkandung di dalamnya cenderung tinggi.

Mengutip dari laman alodokter.com, mutiara tapioka kering yang merupakan komponen pembuatan boba memiliki kalori yang cukup tinggi, tetapi minim vitamin, protein, dan serat. Apabila sudah diracik menjadi bubble milk tea, satu porsi standar (sekitar 475 ml) mengandung sekitar 38 gram gula dan 350-500 kalori.

Sementara total kalori dalam 1 gelas bubble tea tersebut sudah melebihi batas asupan gula yang direkomendasikan oleh American Heart Association, yaitu 150 kalori per hari untuk pria dewasa dan 100 kalori per hari untuk wanita dewasa.

Dokter ahli gizi Tan Shot Yen menjelaskan, masyarakat harus menyadari motif mengonsumsi makanan itu, untuk pemenuhan kebutuhan atau kecanduan? Manusia sakit karena orientasi pemenuhan pangan yang berangkat dari kecanduan.

”Kasihan saja, minuman model begitu dibilang enak. Mereka mungkin belum pernah merasakan yang beneran enak. The real green tea leaves, katanya. Harganya saja beda. Orang-orang yang sudah menikmati the real stuff tidak bakal sudi main-main dengan makanan dan minuman yang merusak tubuh,” ujarnya.

Alasan paling dominan warga mengonsumsi minuman ini karena menyukai rasanya (61,9 persen). Ada pula yang penasaran dengan rasa minuman itu (23,5 persen) dan mengikuti tren (9,2 persen).

Menurut dia, sumber pangan yang dapat dibilang sebagai makanan terbaik adalah makanan yang sehat seimbang. Makanan sehat adalah makanan yang semakin dekat dengan bentuk aslinya di alam. Seimbang artinya setiap kali makan, ada proporsi seimbang antara karbohidrat, protein, dan lemak yang sehat.

Persoalan kesehatan, menurut Tan, tidak lantas selesai dengan rajin olahraga dan makan buah serta sayur bagi warga yang doyan mengonsumsi minuman berkadar gula tinggi. Sebab, tubuh tidak bisa dimanipulasi. Begitu ada asupan masuk, pada saat yang sama reaksi tubuh bekerja, mulai dari hormon, enzim, dan semua perangkatnya.

”Sampai akhirnya terjadi resistensi insulin yang membuat lonjakan gula darah sudah tidak bisa ditekan insulin lagi. Itu awal mula obesitas dan berlanjut diabetes,” ucap Tan.

Ia menyarankan agar masyarakat tak terseret lebih jauh ke dalam pusaran propaganda bisnis yang laris manis ini. Menjaga kesehatan tubuh sangat penting. ”Life is sweet enough. No need to add,” katanya.

Let's block ads! (Why?)



"manis" - Google Berita
March 06, 2020 at 06:01AM
https://ift.tt/2ItMd1b

Hidup Sudah Cukup Manis, Perlukah Ditambahi Boba? - kompas.id

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Hidup Sudah Cukup Manis, Perlukah Ditambahi Boba? - kompas.id"

Post a Comment

Powered by Blogger.