Jakarta, Gatra.com - Sistem beli putus untuk tebu atau Sistem Pembelian Tebu (SPT) adalah sistem pembelian tebu petani oleh Pabrik Gula (PG) secara langsung dengan harga pembelian yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan kualitas tebunya.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Derektorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan), Agus Wahyudi, dalam keterangan tertulis, Minggu (22/9), menjelaskan bahwa penetapan harga ini berdasarkan atas biaya dan keuntungan petani, sehingga petani terhindar dari risiko penurunan harga.
Menurut Agus, kebijakan SBT merupakan bagian dari kebijakan kemitraan antara petani dan PG, sehingga perbaikan kebun dapat berlanjut dalam jangka panjang.
Sejauh ini, regulasi terkait dengan sistem beli putus telah tertuang dalam Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Hal ini menunjukkan bahwa dengan keluarnya surat edaran ini mekanisme sistem SPT akan menggantikan mekanisme sebelumnya yaitu Sistem Bagi Hasil (SBH) yang sudah berjalan.
Kebijakan ini untuk mendukung instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta pemerintah untuk melindungi para petani lokal.
“Tentu yang harus dipikirkan sekarang bagaimana cara membuat SPT yang efisien, sehingga diharapkan bagaimana nanti bisa diimplementasikan, sehingga petani bisa berminat dan bisa menyiapkan tanaman lebih luas lagi,” ujarnya.
Agus menyampaikan bahwa pendapatan petani yang menggunakan SPT tersebut akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Sebab, harga tebu yang diperoleh sesuai dengan mutu yang diberikan individu masing-masing petani.
Selain itu, penentuan rendemen bersifat transparan karena petani bisa melihat langsung hasil rendemen tebunya. Lebih utamanya lagi, petani tidak akan lagi dibebani oleh inefisiensi pabrik dan biaya lain-lain yang berhubungan dengan tata niaga gula yang mengurangi pendapatan petani tebu.
"Kita buat asumsi perhitungan SPT, misal produktivitas 80 ton per ha dengan rendemen 7%. Harga Pembelian Tebu Pekebun (HPP) ditetapkan sebesar Rp510.000 per ton pada tingkat rendemen 7 %. Petani mendapatkan pendapatan kotor sebesar Rp40,8 juta," katanya.
Angka tersebut, lanjut Agus, sangat jauh meningkat dengan pendapatan kotor yang diperoleh petani menggunakan sistem bagi hasil. Dengan asumsi produktivitas dan rendemen yang sama pada 1 ha lahan diperoleh pendapatan kotor sebesar Rp40.9 juta. Asumsi perhitungannya yakni bagi hasil 66%, HPP Rp9.800 per kg ditambah tetes tebu 1800 per kg dengan hasil 3% tetes tebu.
Asumsi perhitungan di atas, penerapan SPT mampu meningkatkan semangat petani untuk meningkatkan produktivitas dan mutu tebu yang dihasilkan dengan memelihara tebunya secara baik sesuai dengan pedoman budidaya yang baik agar memeperoleh rendemen yang tinggi dan mampu menekan tingginya biaya yang dikeluarkan.
"Dengan kebijakan penerapan SPT pada masing-masing pabrik gula, kita optimis mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi tebu yang dihasilkan petani dan sekaligus pendapatan petani tebu rakyat, " kata Agus.
"manis" - Google Berita
September 22, 2019 at 11:58PM
https://ift.tt/30Jp0ie
SPT Menambah 'Manis' Tebu Rakyat | Ekonomi - Gatra
Bagikan Berita Ini
0 Response to "SPT Menambah 'Manis' Tebu Rakyat | Ekonomi - Gatra"
Post a Comment