Search

Resensi Film 'Little Women': Kisah Manis Empat Saudara | Gaya Hidup - Gatra

Jakarta, Gatra.com – Sejak pertama kali Louisa May Alcott menerbitkan novel “Little Women” pada 1868 silam, buku ini dengan segera menjadi karya klasik dalam sastra Amerika Serikat. Tulisan semi-autobiografi tentang empat saudara perempuan usai Perang Saudara (1861-1865) itu merupakan karangan Alcott paling terkenal. Bagian pertama dari trilogi kisah Jo March. Little Women telah diadaptasi dalam berbagai bentuk: mulai dari teater, opera, drama radio, serial televisi, dan setidaknya tujuh versi layar lebar.

Meg (Emma Watson), Jo (Saoirse Ronan), Beth ( Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh) adalah empat bersaudara yang lahir dan besar di Massachussetts. Ayah mereka berjuang di medan perang dan ditempatkan di Washington. Walau tak kaya, tapi sang Ibu (Laura Dern) – yang mereka panggil Marmie – mendidik para gadis tersebut untuk peduli pada sesama. Lebih jauh lagi, mereka juga diberi ruang untuk berani memutuskan apa hal-hal besar di hidup masing-masing, termasuk soal pernikahan.

“Gadis-gadis harus pergi melihat dunia dan bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri,” demikian kata sang Ibu bahkan sejak awal.

Si sulung Meg bermimpi bisa menikah dengan pria kaya agar bebas dari pekerjaan domestik yang kasar. Belakangan, dia jatuh hati dan malah menikah dengan seorang guru privat, John Brooke (James Norton). Jo adalah representasi Alcott. Pencinta sastra dan kebebasan. Alih-alih mencari calon suami, saat dewasa dia memilih berkutat dengan anak didik dan tulisan-tulisan ketika menetap di rumah kosnya di New York.

Beth yang pemalu dan sakit-sakitan harus tinggal di rumah, dan hanya mendapat pendidikan akademis dari apa yang dibagikan oleh Jo. Sementara Amy yang lebih menyukai lukisan, cukup beruntung karena dia mendapat kesempatan masuk sekolah umum. Saat lebih dewasa, dia berkesempatan mendampingi Bibi March (Meryl Streep) ke Eropa. Di sana dia melanjutkan sekolah lukis sembari menyiapkan diri menjadi perempuan kelas atas agar pantas menyandang status istri bangsawan kaya raya.

Keseharian keluarga ini makin marak dengan kehadiran tetangga mereka, Kakek Laurence (Chris Cooper) dan cucunya, Theodore (Timothée Chalamet). Remaja seumuran Jo yang akrab disapa Laurie.

Persahabatan erat Jo dan Laurie telah muncul sejak awal perkenalan mereka. Jo adalah satu-satunya orang yang memanggil Laurie dengan nama Teddy. Keduanya bisa berbagi cerita dengan ringan tapi tetap mendalam. Demi menunjukkan betapa akrabnya mereka, desainer kostum, Jacqueline Durran membuat sejumlah kostum yang mirip bagi Jo dan Laurie. Ini untuk menampilkan kesan keduanya berbagi jenis pakaian yang sama.

Sutradara Greta Gerwig bekerja keras agar versi film yang dia garap semirip mungkin dengan novel Alcott. Bagi Gerwig, karakter Jo adalah pahlawan masa mudanya dan Alcott adalah pahlawan di kehidupan dewasanya. “Alcott sukses membuat cerita tentang gadis muda dan wanita dewasa menjadi sebuah karya best-seller. Itu hal yang sangat luar biasa,” puji Gerwig.

Alcott memang sangat sukses dengan karyanya ini. Dia membuktikan buku bagus tak harus berisi cerita bombastis. Kisah sehari-hari semisal intrik antarsaudara bisa menjadi konflik menarik. Transisi gadis remaja menjadi wanita dewasa ternyata seru untuk dibicarakan. Lebih jauh lagi, ada terselip perjuangan perempuan secara universal.

Pidato panjang Amy di depan Laurie soal pernikahan tadinya tak ada dalam skenario asli. Tapi Meryl Streep menyarankan untuk memasukkan kalimat-kalimat tersebut. Menurut dia, para penonton di zaman modern ini perlu paham konteks perempuan di masa itu yang sangat tak berdaya. Di mana perempuan kala itu tak hanya tak bisa bekerja dan ikut pemilihan umum, mereka juga akan kehilangan hak atas uang, properti, dan anak saat ketika mereka menikah. Script tambahan ini lantas ditulis tangan oleh Gerwig dan langsung disodorkan ke Pugh sesaat sebelum scene tersebut dilakukan.

Novel aslinya dipublikasikan terpisah dalam dua bagian, yakni pada 1868 dan 1869. Jadi bagian pertama sudah dipasarkan, bahkan sebelum akhir ceritanya ditentukan. Adegan antara Jo dan bos penerbit soal akhir cerita novel itu sama persis dengan diskusi yang dijalani Alcott dan penerbit dia, terkait apakah Jo pada akhirnya menikah atau tidak.

Di sisi lain, upaya Gerwig tak sia-sia. Keputusan dia membuat alur maju mundur di film ini makin menghidupkan cerita. Terasa sangat nyata karena penonton semacam menjadi salah satu karakter di sana dan sedang mengenang suatu memori dari masa lalu.

Keempat tokoh kakak beradik itu bersinar dengan pesonanya masing-masing. Tak heran jika Ronan dan Pugh masuk nominasi Oscar 2020 untuk kategori Aktris Terbaik dan Aktris Pendukung Terbaik. Karakter anak bungsu yang serampangan tapi juga bisa anggun, yang blak-blakan tapi juga bisa bersikap bijak, mampu dihidupkan dengan sangat baik oleh aktris asal Inggris itu.

Pugh baru saja selesai dalam proyek film Midsommar (2019) ketika dia mulai syuting untuk Little Women beberapa hari kemudian. Pugh mengatakan bahwa perannya sebagai Amy menjadi semacam terapi setelah mengalami tekanan berat saat menjadi karakter Dani.

Little Women versi 2019 ini sungguh sangat layak bersaing di jajaran Film Terbaik. Cerita yang kuat di tangan Gerwig, makin maksimal. Gelombang emosi tawa, sedih, haru sepanjang film berlangsung pas. Penghujung yang manis di akhir film sukses membuat kita keluar dari ruangan bioskop dengan senyum lebar dan hati yang hangat.


Editor: Flora L.Y. Barus


Let's block ads! (Why?)



"manis" - Google Berita
February 07, 2020 at 04:41PM
https://ift.tt/389zHzh

Resensi Film 'Little Women': Kisah Manis Empat Saudara | Gaya Hidup - Gatra

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Resensi Film 'Little Women': Kisah Manis Empat Saudara | Gaya Hidup - Gatra"

Post a Comment

Powered by Blogger.